Di era media sosial yang berkembang pesat seperti saat ini, kasus-kasus pelanggaran hukum kerap kali menjadi berita viral yang menarik perhatian luas masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum, fenomena ini telah memicu perdebatan mengenai responsivitas aparat kepolisian terhadap kasus-kasus viral tersebut, terutama dengan meluasnya anggapan keliru bahwa kasus pelanggaran hanya ditangani polisi jika sudah viral di sana-sini.
Secara konsep dan praktik di lapangan, kepolisian telah disumpah untuk selalu responsif terhadap semua kasus pelanggaran hukum. Responsif di sini tidak hanya terbatas pada upaya penanganan kasus, tetapi juga pencegahan, pendampingan, dan membangun kerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Khusus untuk responsivitas aparat kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang viral (atau lebih tepat; diviralkan) di media, penting untuk menilik kembali teori pemolisian responsif yang dijabarkan John Eck dan William Spelman dalam Problem-Oriented Policing (2019).
Dalam buku itu, keduanya menekankan bahwa penegakan hukum yang responsif terhadap kasus pelanggaran merupakan implementasi langsung dari problem-oriented policing. Dalam konteks ini, problem-oriented policing atau pemolisian yang berorientasi untuk menyelesaikan masalah mengutamakan pemecahan masalah mendasar yang menjadi akar permasalahan, bukan hanya dengan menangkap dan menahan si pembuat masalah. Aparat kepolisian juga telah dibekali dengan kemampuan dan wewenang untuk selalu responsif terhadap semua kasus pelanggaran, baik yang viral maupun yang tidak. Viral atau tidak, semua kasus pelanggaran hukum akan ditindak dengan bijak.
Problem-Oriented Policing
Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip pemolisian responsif, salah satu aspek pentingnya adalah penerapan problem-oriented policing. Pendekatan ini menekankan pentingnya menganalisis akar permasalahan di balik tindak pelanggaran dan mencari solusi yang holistik serta berkelanjutan. Dengan memfokuskan upaya penegakan hukum pada pemecahan masalah yang mendasari, aparat kepolisian tidak hanya menangani kasus secara individual, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban yang berkelanjutan di masyarakat.
Ketika sebuah kasus pelanggaran menjadi viral di media sosial, hal ini sebenarnya mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian. Masyarakat berharap bahwa dengan memviralkan kasus tersebut, polisi akan menanganinya dengan serius dan adil. Oleh karena itu, penting bagi aparat kepolisian untuk tidak melihat viralitas kasus sebagai ajakan untuk melakukan pengadilan jalanan, tetapi sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Penerapan pemolisian responsif juga membutuhkan kerja sama yang erat antara aparat kepolisian dan masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang relevan dan membantu identifikasi serta penyelesaian kasus pelanggaran. Oleh karena itu, aparat kepolisian akan terus membangun hubungan yang baik dengan masyarakat, memperkuat kepercayaan, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.
Tidak Alergi
Dengan berbekal konsep dan semangat pemolisian responsif, aparat kepolisian memahami bahwa semua tindak pelanggaran harus ditindak secara adil dan proporsional, tanpa harus mempertimbangkan sejauh mana kasus tersebut viral di media sosial. Ini berarti, aparat kepolisian tidak boleh alergi terhadap kasus-kasus yang viral. Dalam ” Media Made Criminality the Representation of Crime in The Mass Media” (2007), Robert Reiner menyoroti pentingnya peran media dalam membentuk pemahaman publik tentang kejahatan –dan bagaimana kepolisian sebaiknya merespons.
Kejahatan, masih menurut Reiner, umumnya terjadi karena banyak dorongan, tetapi salah satu yang utama adalah the absent of control. Kontrol ini bisa datang dari aparat keamanan, bisa pula dari masyarakat. Reiner meminjam istilah Eysenc untuk menyebut kontrol ini sebagai “inner policeman”. Jika ditarik ke dalam konteks berita viral, bisa jadi kasus-kasus pelanggaran hukum yang diviralkan masyarakat di media adalah pengejawantahan inner policeman tersebut, di mana masyarakat berharap bukan saja agar pelaku pelanggaran ditangkap dan diproses hukum, tetapi juga agar pelanggaran serupa tidak terulang kembali sebab media juga memberi efek jera.
Reiner mengakui bahwa media memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi persepsi masyarakat terhadap tindakan aparat polisi, termasuk melalui viralitas kasus pelanggaran. Oleh karena itu, penting bagi semua aparat kepolisian untuk selalu memastikan bahwa respons mereka tetap obyektif dan proporsional. Dua jenis respons ini diperlukan agar aparat kepolisian tidak terjebak dalam permainan sensasionalisme media atau tekanan opini publik yang mungkin muncul akibat viralitas kasus pelanggaran.
Akhirnya, harus dipahami bahwa pemolisian responsif merupakan pendekatan yang penting dalam menangani kasus pelanggaran, termasuk yang viral di media sosial. Dengan menerapkan problem-oriented policing, aparat kepolisian dapat menghadapi kasus-kasus pelanggaran dengan pendekatan yang holistik, memecahkan masalah yang mendasarinya, dan memastikan penegakan hukum yang adil dan proporsional. Melalui kerja sama dengan masyarakat dan kesadaran akan peran media, pemolisian responsif dapat menjadi landasan yang kuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban yang berkelanjutan di masyarakat.